Senin, 17 Agustus 2015

Bagaimana harusnya merayakan Kemerdekaan?

Sudahkah kita merdeka? Bagi yang hidupnya selalu ada, Mereka mengatakn kita sudah merdeka dan begitu nikmat kemerdekaan karena gambar pahlawan dalm uang negara indonesia sudah berbaris rapi di saku dangannya aku bisa beli apa saja yang ku mau.

Bagi yang hidupnya pas pasan mengatakan memang kita sudah merdeka dari penjajah tapi hakikatnya kita belum meresakan kemerdekaan karena aku tinggal ditanah surga tapi untuk makan saja susah seperti diperjara.

Sang poklamator nagara kita mengatakan "Janganlah mengira kita semua sudah cukup berjasa dengan segi tiga warna. Selama masih ada ratap tangis di gubuk-gubuk pekerjaan kita selesai! Berjuanglah terus dengan mengucurkan sebanyak-banyak keringat." [Ir. Soekarno, Pidato HUT Proklamasi]

Terlepas dari makna merdaka belumnya kita tetapi secara kasat mata memang panding father kita sudah mepoklamirkan kemerdekaan negara indonesia dari penjajah pada tanggal 17 agustus 1945. Hari ini senin, 17 agustus 2015 tepat 70 tahun negara ini berdiri semua warga negara ini gegap gembita menyambut hari kemerdekaan republik ini.

Yang menjadi pertanyaan adalah Bagaimana merayakan kemerdekaan yang kita terima sebagai anugrah Allah, apa dengan seremonial upacara bendera? Atau dengan mengadakan acara hiburan? Mengadakan lomba lomba atau dengan mengibarkan bendera merah putih di dasar laut atau diketinggian.

Sebelum kita membahas bagaimana memaknai dan merayakan kemerdekaan, mari kita buka kembali lembaran sejarah yang mungkin sudah kita lupa. Mari kita baca sejarah bagaimana kemerdekaan ini didapat, bagaimna panding father kita memperjuangkan kemerdekaan?

10 november 1945 Bong Tomo dalam pidatonya menyerukan : “Kita tunjukkan bahwa kita adalah benar-benar orang yang ingin merdeka. Dan untuk kita, saudara-saudara, lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: MERDEKA atau MATI. Dan kita yakin, saudara-saudara, pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita sebab Allah selalu berada di pihak yang benar, percayalah saudara-saudara, Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar..! Allahu Akbar..! Allahu Akbar…! “

Pada tanggal 22 November 1945 disurabaya, NU mencetuskan Resolusi Jihad, yang isinya sebagai berikut : 1) Kemerdekaan Indonesia yang memproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan. 2) Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah, wajib dibela dan diselamatkan. 3) Musuh Republik Indonesia, terutama Belanda yang datang membonceng tugas-tugas tentara Sekutu dalam masalah tawanan perang bangsa Jepang tentulah akan menggunakan kesempatan politik dan militer untuk kembali menjajah Indonesia. 4) Umat Islam, terutama Nahdlatul Ulama, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak menjajah kembali Indonesia. 5) Kewajiban tersebut adalah suatu jihad yang mehjadi kewajiban setiap orang Islam (fardlu ‘ain) yang berada pada jarak radius 94 km (jarak dimana umat Islam diperkenankan Sholat Jama’ dan Qoshor). Adapun mereka yang berada diluar jarak itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam radius 94 km tersebut.

Slogan yang dikumandangkan oleh para kiai dan ulama dalam peperang mempertahankan kemerdekaan di Plagan, Ambarawa, Semarang, Bandung, dll adalah “Hidup Mulia atau Mati Syahid di Jalan Allah” dan “Cinta Tanah Air adalah Bagian dari Iman”.

Dan kalimat yang pendahulu kita inginkan sebagai dasar negara ini yang diputuskan di rapat BPUPKI “ Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluknya”  namun demi toleransi dan menjaga negara RI dari perpecahan, akhirnya disepakati dengan kalimat : “ Ketuhanan Yang Maha Esa “ (peranan Ki Bagus menempatkan Yang Maha Esa sebagai Taukhid Rakyat Indonesia ). ( Endang Syaifuddin Anshari, Piagam jakarta)

Begitulah panding  father bangsa ini memperjuangkan kemerdekaan. Bukan dengan pesta pora, bukan dengan sorak gembira tetapi dengan darah dan nyawa para pahlawan, negeri ini berdiri dan merdeka tercipta. Dr. Douwwes Dekker ( Setyabudi Danudirdja) menyatakan bahwa : “Apabila Tidak ada semangat Islam di Indonesia, sudah lama kebangsaan  yang sebenarnya lenyap dari Indonesia” (dalam Aboebakar Atjeh: 1957, hlm.729). Bila menilik perkataan Dr. Douwwes Dekker maka selaknya dalam memaknai  dan merayakan kemerdekaan yang harus kita lakukan adalah bersyukur kepada Allah SWT, dan mendekatkan diri kepada-Nya bukan dengan parade music, bukan dengan parade lomba dst. Bukan pesta pora tapi penanaman dan menumbuhkan semangat islam (dengan banyak beribadah, memperbanyak pengajian, perbanyak muhasabah dan perbanyak pembinaan pemuda untuk hidup dan menghidupkan islam). Waallahu A’lam

0 komentar:

Posting Komentar